OPINI, JURNALTODAY.CO – Dalam struktur pemerintahan daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda memiliki posisi strategis sebagai lembaga legislatif yang mengemban amanat mengawasi, mengatur anggaran, dan membuat regulasi di tingkat daerah.
Sebagai wakil rakyat, DPRD Kota Samarinda dengan 45 anggota yang tersebar dalam 10 partai politik periode 2024-2029, memainkan peran krusial dalam mewujudkan prinsip checks and balances terhadap eksekutif. Eksistensi DPRD bukan sekadar pelengkap struktur pemerintahan, melainkan manifestasi dari demokrasi Pancasila yang menghendaki adanya keseimbangan kekuasaan, di mana tidak ada satu lembaga pun yang dapat bertindak tanpa pengawasan dan batasan.
Secara teoritis, konsep checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah berpijak pada prinsip distribusi kekuasaan antara eksekutif (Pemkot) dan legislatif (DPRD).
Menurut teori trias politica yang diadaptasi dalam konteks otonomi daerah, kekuasaan tidak boleh terkonsentrasi pada satu pihak untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.
DPRD sebagai representasi kehendak rakyat daerah memiliki legitimasi konstitusional untuk mengimbangi kebijakan Pemkot melalui fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.
Relasi dialektis antara DPRD dan Pemkot ini seharusnya berorientasi pada kepentingan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, bukan sekadar adu kekuatan politik atau kepentingan kelompok tertentu.
Dalam menjalankan fungsinya, DPRD Kota Samarinda memiliki struktur organisasi yang menunjang pelaksanaan checks and balances terhadap pemerintah kota.
Adanya alat kelengkapan DPRD seperti Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) dan komisi-komisi seperti Komisi I memberikan landasan operasional bagi DPRD untuk mengawal kebijakan Pemkot.
Fungsi pengawasan DPRD tidak sekadar bersifat reaktif terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga proaktif dalam mengidentifikasi kebutuhan regulasi. Ini tercermin dari inisiatif DPRD untuk mengusulkan rancangan peraturan daerah di luar program pembentukan peraturan daerah (Propemperda) yang dianggap memiliki urgensi tinggi demi kesejahteraan masyarakat.
Kasus penertiban Pasar Subuh menjadi cerminan nyata dinamika checks and balances antara DPRD dan Pemkot Samarinda. Kebijakan relokasi pedagang yang diimplementasikan Pemkot menuai kritik dari beberapa anggota DPRD seperti Ahmad Vananzda yang menilai tindakan tersebut kurang persuasif dan cenderung abai terhadap aspirasi pedagang.
Proses penertiban yang berujung ricuh menunjukkan adanya kesenjangan komunikasi antara eksekutif dan masyarakat, sehingga DPRD sebagai lembaga representasi rakyat merasa perlu mengintervensi kebijakan tersebut.
Situasi ini menggambarkan peran DPRD sebagai penyeimbang yang berupaya memastikan kebijakan pemerintah tidak merugikan kelompok masyarakat tertentu.
Sikap kritis DPRD terhadap kebijakan relokasi Pasar Subuh juga disuarakan oleh Adnan Faridhan, anggota Komisi I DPRD Samarinda, yang mempertanyakan dasar hukum dan kajian komprehensif dari kebijakan tersebut.
Kritik substantif yang dilontarkan menyoroti bahwa kebijakan relokasi terkesan tergesa-gesa dan berpotensi mematikan sumber penghidupan pedagang kecil. Dalam perspektif hukum tata negara, intervensi DPRD ini merupakan manifestasi fungsi pengawasan terhadap kebijakan eksekutif yang bersinggungan langsung dengan hak ekonomi warga.
DPRD mendesak agar kebijakan penataan ruang publik seperti pasar tradisional harus mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi bagi pedagang kecil dan dilakukan dengan pendekatan yang lebih manusiawi, bukan semata-mata berorientasi pada penataan fisik kota.
Dalam konteks penataan ruang kota, relasi DPRD dan Pemkot Samarinda juga sering diwarnai dinamika checks and balances yang intensif. Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai instrumen perencanaan jangka panjang membutuhkan kajian mendalam dan persetujuan DPRD sebelum disahkan.
Bapemperda DPRD Kota Samarinda aktif melakukan koordinasi dengan Pemkot untuk memastikan bahwa perencanaan spasial kota memenuhi prinsip keberlanjutan dan keadilan ruang. Penataan ruang menjadi isu krusial mengingat implikasinya yang luas terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari lingkungan hidup, ekonomi, hingga sosial budaya.
DPRD memiliki kewenangan untuk menolak atau merevisi rencana penataan ruang yang diajukan Pemkot jika dinilai tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat luas.
Selain itu, wacana pembangunan sekolah internasional di Samarinda juga menjadi arena kontestasi ide antara DPRD dan Pemkot. Dalam perspektif pembangunan pendidikan, keberadaan sekolah internasional dapat meningkatkan daya saing sumber daya manusia Samarinda di tingkat global.
Namun, DPRD perlu memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak menciptakan eksklusivitas pendidikan yang bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Melalui fungsi anggarannya, DPRD dapat mengevaluasi prioritas alokasi dana pendidikan, apakah lebih tepat diarahkan pada penguatan sekolah internasional atau pemerataan kualitas pendidikan dasar.
Diskursus akademis ini menunjukkan bahwa checks and balances tidak selalu berwujud konflik terbuka, tetapi juga dapat berbentuk dialektika konstruktif dalam perumusan kebijakan publik.
Tantangan implementasi checks and balances antara DPRD dan Pemkot Samarinda terletak pada keseimbangan antara pengawasan kritis dan hubungan harmonis antarlembaga. Di satu sisi, DPRD dituntut untuk mengkritisi kebijakan Pemkot yang berpotensi merugikan masyarakat, namun di sisi lain juga harus membangun komunikasi efektif agar tidak terjebak dalam oposisi permanen yang kontraproduktif.
Konflik kepentingan politik dan pragmatisme kekuasaan seringkali mengaburkan esensi checks and balances sebagai mekanisme untuk menjamin pemerintahan yang akuntabel. Diperlukan kedewasaan politik dan pendalaman pemahaman tentang prinsip-prinsip konstitusionalisme agar DPRD dapat menjalankan fungsinya secara substantif, bukan sekadar formalitas prosedural yang kehilangan makna demokratis.
Dapat disimpulkan bahwa dinamika checks and balances antara DPRD Kota Samarinda dan Pemkot Samarinda mencerminkan proses demokratisasi di tingkat lokal yang masih berkembang.
Kasus penertiban Pasar Subuh menunjukkan bahwa DPRD telah berupaya menjalankan fungsi pengawasan kritis terhadap kebijakan eksekutif yang bersentuhan dengan kesejahteraan masyarakat kecil.
Namun, efektivitas checks and balances ini masih memerlukan penguatan kapasitas kelembagaan DPRD dalam melakukan kajian kebijakan berbasis data dan argumentasi yuridis yang solid. Untuk menyempurnakan mekanisme checks and balances, diperlukan reformasi internal DPRD untuk meningkatkan kapasitas anggota dalam memahami substansi kebijakan publik, serta penguatan partisipasi masyarakat dalam mengawal kinerja lembaga perwakilan rakyat.
Dengan demikian, relasi DPRD dan Pemkot Samarinda dapat berevolusi dari sekadar hubungan kekuasaan menjadi kemitraan strategis dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan daerah yang demokratis dan berkeadilan.(*)
*Penulis merupakan mahasiswa S1 Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman.