Jurnaltoday.co – 2024 adalah tahun politik, pagelaran pemilihan Presiden, DPD, DPR RI, DPRD Provinsi, Kab/Kota, dilakukan secara serentak bersamaan dengan pemilihan kepala daerah di bulan November 2024. Panjangnya pesta demokrasi di tahun 2024 menjadikan untuk tahun pertama pemilu digabung dengan pilkada. Pesta demokrasi yang dilakukan secara serentak ini sangat rentan terhadap korupsi pada setiap pemegang wewenang kekuasan.
Hal ini tidak menutup kemungkinan juga akan menimpa pada mereka yang menjadi penyelenggara pemilu.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Seperti yang diketahui secara bersama anggaran pemilu setiap tahunnya selalu meningkat, di tahun 2004 sebesar 4,45 Triliun, 2009 8,6 Triliun, 2014, 15,62 trilun, 2019 25, 59 Triliun (Sumber APBN diolah).
Untuk anggaran pemilihan umum di tahun 2024 sendiri dicanangkan sebesar 76,6 Triliun untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), 33,8 Triliun untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Total kebutuhan penyelenggaraan pemilu dan pilkada 2024 sebesar 110 triliun atau 4% dari total APBN 2023, yakni 3.061 triliun.
Biaya pemilu yang tidak sedikit ini sangat rawan akan terjadinya korupsi di dalamnya apabila tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh semua elemen. Seperti yang pernah dikemukakan oleh kepala Lembaga kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah (LKPP) Hendrar Prihadi menilai bahwa pengadaan barang dan jasa untuk penyelenggaraan pemilu 2024 menjadi titik rawan korupsi.
Dalam hal ini dia menyoroti data direktori putusan Mahkama Agung (MA periode 2014-2020 dimana terdapat 44 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa yang melibatkan anggota KPU dan KPUD. Dengan biaya pemilu yang begitu besar tersebut sangat membuka celah korupsi pada pesta 5 tahun ini.
KPK mencatat modus korupsi yang sering digunakan dalam pengadaan barang dan jasa, antara lain proyek atau paket sudah diijon atau dijual dengan deal-deal tertentu kepada vendor bahkan sebelum anggaran disetujui atau disahkan.
Kemudian rekayasa dokumen dimana ada persekongkolan pihak terkait yang inisiatifnya bisa dimulai dari manapun juga, kemudian ada harga perkiraan sendiri (HPS) dibuatkan oleh pihak yang kira-kira akan ditujuk sebagai calon pemenang, mark up harga hingga suap dan manipulasi pemilihan pemenang. Lalu, manipulasi terkait dokumen lelang, manipulasi dokomen serah terima, penerimaan suap kepada pihak-pihak terkait pengadaan barang dan jasa.
Praktek-praktek korupsi dalam pemilu sebenarnya bukan hanya pada pengadaan barang dan jasa tetapi juga pada praktek politik uang yang marak terjadi dan semakin mencederai makna dari demokrasi itu sendiri. Survei LIPI pemilu tahun 2019 dan demokrasi di Indonesia menguakkan fakta sebanyak 46,7 persen menganggap politik uang sebagai hal yang dapat dimaklumi (humas LIPI 2019).
Di tahun 2013 jauh sebelumnya hasil survei presepsi publik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis data sebesar 71,72 persen masyarakat mengaggap korupsi sebuah kelumrahan. Sehingga tidak mengherankan apabila cost politik untuk maju dalam kontestasi pemilu maupun pemilihan kepala daerah sangat tinggi. Ruang-ruang seperti inilah yang akan menciptakan ruang korupsi bagi kepala daerah maupun anggota legislatif.
Peranan Masyarakat Dalam Mencipatkan Pemilu Bersih
Pelaksanaan pemilu yang melibatkan seluruh aspek bernegara dan bermasayarakat harus dijaga marwahnya supaya pesta demokrasi 5 tahunan ini berjalan sesuai dengan amanah dari UU. Untuk meminimalisir potensi-potensi korupsi di dalamnya perlu adanya berbagai macam aspek yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi.
Dengan meningkatkan transparansi dalam keseluruhan pemilu dapat mengurangi ruang bagi praktik korupsi yang biasanya terjadi di balik layer, informasi mengenai pemilihan, termasuk proses pencalonan, pemilih pemungutan suara dan penghitungan suara harus ramah terhadap siapapun yang ingin mengetahuinya. Artinya sekarang sudah saatnya pemilu harus bertransformasi menjadi informasi yang dapat diakses oleh publik secara mudah.
Dengan demikian masyarakat dapat melakukan pemantauan dan bisa mengungkapkan potensi korupsi yang akan terjadi. Peranan masyarakat disini sangatlah penting karena penyelenggaraan pemilu menggunakan uang dari hasil pajak yang ditarik kepada masyarakat oleh negara.
Di sisi lain menolak politik uang merupakan celah yang bisa dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk menutup celah korupsi paling mudah dan paling dekat. Dengan menolak politik uang, masyarakat sebagai konstituen bisa secara merdeka dan sadar menentukan siapa yang layak untuk menjadi kepala daerah maupun legislatif tidak karena pemberian sedikit nominal uang yang bisa merusak ruang-ruang demokrasi yang ada.(*)