OPINI, JURNALTODAY.CO – Ada yang berbeda dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) di masa kepemimpinan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia; Prabowo-Gibran, dibanding dokumen RPJMN periode kepemimpinan pemerintahan sebelumnya. Yakni secara gamblang menyebutkan jumlah produksi batubara nasional.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025-2029. Dalam dokumen rencana pembangunan ini, jumlah produksi batu bara ditetapkan sebesar 717 juta ton pada tahun 2025. Kemudian pada tahun 2029, ditargetkan, jumlah produksi batu bara naik menjadi 743 juta ton. Angka tersebut menggunakan baseline produksi batubara nasional 775,20 juta ton. Dari jumlah produksi itu, pemerintah menargetkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri 100 persen. Angka-angka target tersebut dalam RPJMN 2025-2029 menjadi bagian dari program prioritas swasembada energi.
Namun yang menjadi pertanyaan, dari mana angka-angka itu? Berdasarkan perhitungan atau rumusan apa angka-angka yang menjadi target itu dituangkan dalam RPJMN? Kalau jawabannya hanya berdasarkan pada baseline target produksi 2024, pertanyaannya, apakah penentuan arah kebijakan hanya disandarkan pada jumlah produksi tahunan, tanpa ada pertimbangan ekonomi, lingkungan atau dokumen kebijakan lainnya? Sementara sebagaimana kita ketahui, target dan capaian produksi di tahun 2024 itu merupakan angka yang tidak sesuai dengan target dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang merupakan implementasi dari Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Pun begitu dengan target pemenuhan kebutuhan dalam negeri dalam RPJMN itu. Tidak menyebutkan tentang berapa jumlah proyeksi kebutuhan dalam negeri. Hanya menyebutkan secara umum kemampuan pemenuhannya saja; yakni sebesar 100 persen.
Disharmonisasi Aturan
Kebijakan produksi batu bara dalam RPJMN 2025-2029 tersebut jauh lebih tinggi dari yang disebutkan dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Dalam RUEN, produksi batu bara ditargetkan tahun 2025 sebesar 400 juta ton, dengan proyeksi kebutuhan dalam negeri 205,2 juta ton. Hingga tahun 2030, target produksi batu bara masih tetap di angka 400 juta ton. Sementara kebutuhan dalam negerinya diproyeksikan meningkat menjadi 252,7 juta ton.
Dalam RUEN, diatur jumlah produksi batubara nasional hingga tahun 2050, berikut dengan proyeksi kebutuhan dalam negerinya. Perhitungan dalam RUEN tersebut, merupakan hasil pemodelan yang didasarkan pada pemodelan pasokan energi primer batubara dalam bauran energi primer 2025-2025 di dokumen Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Dalam konteks arah kebijakan target produksi batubara, ada dua produk aturan dengan hirarki yang sama, yakni Perpres Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN dan Perpres Nomor 22 Tahun 2017 tentang RUEN. Perpres RPJMN disahkan pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran, sementara Perpres RUEN disahkan pada pemerintahan sebelumnya, dan statusnya masih berlaku.
Keduanya mengatur beleid jumlah produksi yang berbeda. Ini berpotensi menimbulkan ketidakjelasan atau kepastian hukum, karena adanya conflict of norm, tumpang tindih target. Beleid produksi batu bara dalam dua perpres itu, merupakan bentuk disharmonisasi dalam bentuk inkonsistensi adanya secara horizontal dari segi waktu.
Bentuk disharmonisasi tersebut, yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu berlaku daripada beberapa peraturan yang yang secara hierarkis sejajar, tetapi substansi peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi peraturan lainnya (Legowo; 2017).
Dalam Konteks Swasembada Energi
Salah satu program utama pemerintahan Prabowo-Gibran adalah swasembada energi. Sebagaimana tertuang dalam dokumen Asta Cita —visi misi Prabowo-Gibran. Dan itu menjadi arah atau orientasi RPJMN lima tahun ke depan. Target produksi batu bara dalam dokumen RPJMN juga menjadi bagian dari program prioritas swasembada energi itu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), swasembada adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Secara harfiah, swasembada adalah kemampuan suatu negara untuk mencukupi kebutuhan sendiri tanpa perlu mengandalkan impor dalam jumlah besar.
Bila membandingkan cadangan dan realisasi produksi batu bara dengan kebutuhan dalam negeri selama ini —setidaknya lima tahun ke belakang, Indonesia sebenarnya berada dalam kondisi swasembada. Bahkan batu bara Indonesia dieksploitasi begitu besar jauh dari angka kebutuhan domestik.
Sebagaimana diketahui, konsumsi batubara dalam negeri terus meningkat. Ini dapat dilihat dari jumlah Domestic Market Obligation (DMO); sejak tahun 2015 hingga tahun 2020, DMO mencatatkan kenaikan sebesar 54 persen. Yakni 86 juta ton di tahun 2015 menjadi 132 juta ton di tahun 2020. Jumlah DMO di tahun 2025 meningkat menjadi 239,7 juta ton. Sementara total produksi batu bara nasional —dikutip dari Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) — tahun 2020 sebesar 565,69 juta ton. Naik menjadi 606,28 juta ton di tahun berikutnya. Tahun 2022, naik lagi menjadi 685,80 juta ton. Dan naik lagi di tahun 2023 menjadi 770,90 juta ton. Untuk tahun 2024, per 29 Desember, produksinya mencapai 807,34 juta ton. Tahun 2025, Kementerian ESDM menargetkan produksi batu bara sebesar 735 juta ton.
Produksi batu bara sangat berlebihan jauh dari kebutuhan nasional. Ini justru akan menjadi ancaman dalam konteks mewujudkan swasembada energi ke depan. Kebutuhan batubara dalam negeri terus meningkat, sementara produksi digenjot melebihi kebutuhan, dan kita lupa bahwa batu bara merupakan sumber daya alam tak terbarukan yang akan habis.
Bicara swasembada energi, arah kebijakan batubara seharusnya diorientasikan pada kebutuhan dalam negeri. Batu bara seharusnya menjadi aset pembangunan ke depan dalam hal pemenuhan energi. Bukan lagi sebagai sumber pendapatan. Eksploitasi yang terus digenjot hingga melebihi jauh dari kebutuhan nasional justru merupakan kontra-produktif dengan semangat swasembada energi itu sendiri.
PNBP Oriented
Arah kebijakan batubara saat ini masih menjadikan sumber daya alam ini sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Ini salah satu yang menjadi jawaban terus digenjotnya produksi batu bara hingga melebihi target yang ditetapkan dalam RUEN. Ketergantungan pemerintah dari kontribusi batu bara terhadap pendapatan negara bukan pajak (PNBP) masih besar.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2022 mencatat, batubara menyumbang 80% dari total PNBP untuk sub sektor mineral dan batubara (minerba). Batubara (royalti & PHT) penyumbang PNBP terbesar dari sub sektor mineral dan batubara dengan proporsi antara 75% hingga 85% dari total PNBP minerba selama 4 tahun terakhir (Ditjen Minerba, 2023).
Dokumen RPJMN 2025-2029 menunjukkan, arah kebijakan batubara masih disandarkan pada PNBP, meski tak mengesampingkan kebutuhan dalam negeri. Peran batu bara dalam bauran energi nasional memang yang paling besar dibanding sumber energi lainnya.
Meski begitu, seharusnya batu bara yang merupakan sumber energi tak terbarukan tidak lagi menjadi andalan PNBP dan pelan-pelan diarahkan hanya untuk kepentingan pemenuhan energi nasional semata. Batu bara yang kini masih menjadi sumber pendapatan atau PNBP menjadi bukti lambatnya pemerintah melakukan diversifikasi ekonomi.(Opini/Ariyansah)