OPINI, JURNALTODAY.CO – 27 tahun telah terbuang dalam ilusi. Setiap Mei, kita disuguhi upacara kebohongan kolektif: pidato tentang keberhasilan transisi demokrasi, janji penyelesaian pelanggaran HAM, dan teatrikal penghormatan pada pahlawan reformasi.
Namun di balik panggung megah itu, keluarga korban Trisakti masih menangis sunyi, para janda penculikan 1998 masih menggenggam foto usang, sementara para elit bermain sandiwara kekuasaan dengan tangan berlumur darah masa lalu. Inilah potret buram negeri yang mengubur cita-cita reformasi di bawah puing-puing pengkhianatan.
Reformasi 1998 lahir dari rahim penderitaan yang tak terperi. Darah mahasiswa menyiram aspal jalanan, jerit ibu-ibu yang kehilangan anaknya memecah kesunyian malam, dan mayat-mayat tak bernama menjadi saksi bisu kebrutalan kekuasaan.
Saat itu, kita semua yakin bahwa pengorbanan itu akan melahirkan Indonesia baru: negara yang menghormati hukum, menjunjung HAM, dan menolak warisan Orde Baru. Tapi lihatlah kini istana dipenuhi wajah-wajah yang pernah menjadi algojo reformasi, sementara berkas kasus pelanggaran HAM berat berkarat dalam lemari besi Kejaksaan Agung.
Tragedi Trisakti dan Semanggi bukan sekadar catatan sejarah, melainkan luka terbuka yang terus dirobek garam impunitas. Empat mahasiswa Trisakti tewas dengan peluru di kepala mereka Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie sementara puluhan lainnya cacat seumur hidup.
Keluarga korban Semanggi I masih mengetuk pintu Istana setiap tahun, membawa foto-foto yang sudah pudar dan surat permohonan yang tak pernah dibalas. Padahal, hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998 dengan jelas merekomendasikan pengadilan terhadap pelaku, tetapi rekomendasi itu menguap ditelan angin kekuasaan.
Ironi paling pedih terpampang nyata dalam panggung politik kita hari ini. Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus yang namanya tercatat dalam laporan Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM) untuk kasus penculikan aktivis 1997-1998, kini justru bertahta dalam lingkaran kekuasaan tertinggi.
Padahal, laporan itu menyebutkan adanya perintah langsung dari komandan untuk melakukan penculikan, penyiksaan, dan penghilangan paksa terhadap 23 aktivis pro-demokrasi. Sembilan di antaranya masih dinyatakan hilang hingga kini, sementara keluarga mereka hidup dalam nestapa yang tak berkesudahan.
Di sudut gelap Jakarta, Ibu Sipon terus menyimpan baju terakhir yang dikenakan putranya, Wiji Thukul, sebelum hilang pada 1998. Setiap malam, dia masih membuka lemari tua itu, meraba kain usang sambil berharap suatu hari penyair itu akan pulang. Kisahnya bukan sekadar duka personal, melainkan cermin kegagalan negara dalam memenuhi janji reformasi.
Komnas HAM telah menetapkan tujuh kasus pelanggaran HAM berat pasca-reformasi sebagai pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan, termasuk penembakan Semanggi I dan II, namun tak satu pun proses hukum bergulir.
Militerisasi kehidupan sipil yang semakin menguat menjadi bukti lain pengkhianatan terhadap reformasi. RUU TNI yang disahkan DPR pada 2023 justru membuka ruang bagi keterlibatan tentara dalam urusan sipil, mengubur upaya demiliterisasi yang menjadi salah satu tuntutan utama 1998.
Di Papua dan NTT, operasi militer masih berlangsung dengan dalih keamanan, meninggalkan jejak pelanggaran HAM baru yang akan menjadi beban untuk generasi mendatang. Kebebasan pers yang dulu diperjuangkan mahasiswa kini terancam oleh pasal karet UU ITE, sementara aktivis muda yang kritis dicap sebagai pengganggu stabilitas.
Generasi yang lahir pasca-1998 tumbuh dalam paradoks. Mereka diajari sejarah reformasi sebagai momen heroik, tetapi menyaksikan langsung bagaimana para pelaku pelanggaran HAM dielu-elukan sebagai pahlawan.
Mereka membaca tentang semangat demokrasi di buku pelajaran, tetapi melihat praktik oligarki dan transaksional di parlemen. Angka partisipasi pemilih muda yang terus menurun bukan sekadar apatisme, melainkan bentuk protes terhadap sistem yang mengubur cita-cita reformasi.
Di ujung tahun ke-27 reformasi, kita harus berani bertanya: untuk siapa sebenarnya reformasi ini? Jika tujuannya adalah keadilan, mengapa para korban justru menjadi penonton di negeri sendiri? Jika tujuannya adalah demokrasi, mengapa suara rakyat dikalahkan oleh kepentingan oligarki? Jika tujuannya adalah penegakan HAM, mengapa para pelaku justru bercengkerama di istana? Darah para martir reformasi telah menjadi pupuk bagi tumbuhnya rezim baru yang tak kalah represif, sementara kita semua diam dalam kepungan nostalgia palsu.
Mungkin inilah saatnya kita mengubur romantisme reformasi dan mulai berduka. Berduka untuk cita-cita yang mati muda, untuk keadilan yang dikhianati, dan untuk generasi yang mewarisi luka tanpa obat.
Tetapi dari kuburan inilah kita harus bangkit menuntut pengadilan HAM yang independen, membongkar arsip-arsip gelap masa lalu, dan memastikan bahwa anak cucu kita tak perlu lagi menangisi pengkhianatan serupa. Sebab, air mata para korban sudah terlalu banyak tumpah untuk dijadikan pupuk kebohongan.(Opini/*)