Tantangan Pertanian Hadapi Laju Globalisasi

Charles Alfredo.

OPINI, JURNALTODAY.CO – Pertanian merupakan pondasi kesejahteraan masyarakat Indonesia, bagian paling vital dalam struktur pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pertanian ialah manifestasi dari ketahanan pangan, pertumbuhan ekonomi, perkembangan sosial budaya, kelestarian lingkungan, stabilitas dan keamanan.

Sebagai negara agraris, pertanian adalah mata pencaharian utama dari masyarakat Indonesia, menurut catatan BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2022 tercatat tenaga kerja disektor pertanian mencapai 88,89% dan ini terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Penghasilan pertanian menjadi poros utama dari pendapatan pokok petani, disamping itu pertanian menjadi sekala prioritas dalam pembangunan lapangan pekerjaan yang produktif, kreatif dan inovatif.

Undang-undang nomor 19 tahun 2013, pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja dan menejemen untuk menghasilkan komoditas pertanian yang mencakup tanaman pangan hortikultura, perkebunan, dan/atau perternakan dalam suatu agroekosistem.

Menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI tercatat sektor pertanian tumbuh 1,84% dengan kontribusi terhadap perekonomian nasional hingga 13,28% pada tahun 2021. Kemudian tahun 2022 konsistensi pertumbuhan pertanian di 1,37% dan kontribusi perekonomian nasional berada di 12,98%. Angka ini menjanjikan kesejahteraan petani dengan Nilai Tukar Petani (NTP) tertinggi pada Juli 2023 sebesar 129,86.

Namun menyikapi kondisi dan situasi global saat ini, Indonesia menghadapi tantangan yang serius dalam perkembangan komoditas pertanian. Terutama dalam melewati masa krisis iklim yang terjadi di dunia akibat emisi rumah kaca dan kenaikan suhu. Termasuk fenomena el nino yang terjadi sejak Juni 2023 ini, menjadi ancaman bagi pertanian masyarakat dari kekeringan serta pembakaran lahan dan hutan.

Bacaan Lainnya

Dalam kasus ini menjadi perhatian penting pada sektor pertanian dunia terkhusus Uni Eropa yang merupakan salah satu konsumen terbesar dari hasil pertanian Indonesia yamg mulai melakukan mitigasi perubahan iklim dengan mengeluarkan undang-undang EUDR (EU Deforestation Regulation).

EUDR ialah kebijakan Uni Eropa dalam mengeluarkan regulasi kepada produk hasil perkebunan dan kehutanan, dengan melakukan tranparansi dokumen uji tuntas dan verifikasi bebas deforestasi pada setiap produk yang masuk dengan batas maksimal akhir tahun 2020. Yang diundangkan pada akhir Juni 2023; setidaknya ada 7 produk hasil pertanian terdambak yaitu ternak, biji coklat, sawit, kopi, karet, kedelai, dan kayu.

Melalui penerapan kebijakan EUDR ini dapat dinilai baik untuk menekan laju dampak emisi rumah kaca akibat deforestasi dan degradasi lahan, namun disatu sisi ini justru ancaman bagi para petani swadaya. Dengam adanya kebijakan EUDR ini dapat berpotensi kepada hasil produk pertanian yang diawasinya bisa gagal lolos uji verifikasi.

Ini justru mengancam kesejahteraan petani indonesia, jika kita berfokus pada gejala ikim yang terjadi sekarang memang sangat urgent namun jauh sebelum itu Indonesia juga telah menekan permasalahan ini. Kita ambil kesimpulan saja dari perkebunan kelapa sawit, di Indonesia telah dibentuk Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) tahun 2004 dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

RSPO membuat standar yang diterapkan di Indonesia dalam menyikapi pertumbuhan penduduk dan deforestasi, RSPO memberi penekanan terhadap minyak sawit berkelanjutan; tercatat ada sekitar 5,060,077 hektar lahan bersertifiat RSPO. Salah satu upaya pemberdayaan petani swadaya sangat konsisten dan berkelanjutan.

EUDR dapat saja mengancam kesejahteraan petani, terkhusus petani swadaya yang tidak memiliki sertifikat RSPO misalkan yang semestinya melalukan penerapan bebas deforestasi dan pastinya ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara. Karena kelapa sawit merupakan salah satu komuditas utama dengan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan.

EUDR adalah produk globalisasi yang merupakan manifestasi dari kapitalisme, hari ini petani kita tidak diberi kesempatan bernapas; disatu sisi mereka harus memahami penerapan RSPO dan ISPO kemudian dibunuh kesempatan tumbuhnya oleh EUDR. Jika kita bandingkan dari keduanya RSPO justru memiliki standar lebih tinggi yang mengatur deforestasi, perlakuan masyarakat dan pekerja secara adil; dan melindungi satwa liar dan lingkungan.

Secara spesifik megatur hak masyarakat adat, hak asasi manusia, hak perkerja dan kesetaraan jender. Ini menunjukan bahwa kebijakan didalam lingkup sektor pertanian RSPO sangat serius dalam menekan perkembangan minyak sawit berkelanjutan.

EUDR jelas mengingatkan kita pada gema imperialisme dan kolinialisme, 30 september 1960 pidato bung karno didalam sidang umum PBB membunyikan sangkakala kepada dunia “imperialisme itu belum mati!, itu sedang sekarat” kita sampai pada hari ini masih terjebak didalam lubang sarangnya imperialisme. Bahkan tegas bung karno mengatakan imperialisme yang sekarat itu bahaya, sama berbahayanya dengan harimau yang terluka dihutan tropis.

Menanggapi hal ini seharusnya kita sebagai mahasiswa, khususnya sadar dan merasa tertindas oleh beban tanggung jawab untuk mencapai indonesia merdeka. Kesadaran akan sistem global yang membelenggu haruslah menjadi pemantik perjuangan kita, kita tidak memungkiri bahwa dunia pun hari ini berketergantungan terhadap hasil alam Indonesia.

Namun secara sadar harus sampai kapan kita membuang semua hasil bumi kita, menjual dan akhirnya membeli lagi apa yang seharusnya menjadi milik kita. Seharusnya kesadaran inilah yang kemudian menekan, kerena kita sedari awal tidak membangun produktifitas, inovasi dan kreatifitas kita untuk memiliki produk dengan lebel sendiri.

Bukan tidak ada, namun terbatas; hal ini menjadi persoalan yang harus kita jawab bersama. Fokus terhadap studi masing-masing kemudian tingkatkan pembangunan berkelanjutan pada setiap sektor pertumbuhan nasional sesuai dengan keahlian dan dasar studi masing-masing. Karena seperti yang kita pahami saat ini pemasalahannya adalah memulai secara mandiri.

Penekanan globalisasi adalah obat dari imperialisme, kesadaran ini haruslah membentuk perlawanan terhadap racun penindasan ini. Membangun kemajuan untuk kesejahteraan rakyat, bertanding mengunakan produk sendiri adalah cara berlawan yang modern buktikan kualitasnya.

Ingat bahwa produk luar yang premium itu bahan baku yang berkualitas nya juga berasal dari bumi Indoneisa. Berati jika peningkatan teknologi kita terus berkembang sudah pasti produk kita dapat jauh lebih unggul.(***)

 

Penulis : Charles Alfredo merupakan mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman yang saat ini menjabat sebagai Komisaris DPK GMNI Faperta Unmul Cabang Samarinda