OPINI, JURNALTODAY.CO – Perkembangan teknologi antariksa yang pesat membawa tantangan baru bagi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Pada 30 Juli 2022, tahap inti roket Long March 5B milik China mengalami reentry tak terkendali dan serpihannya jatuh di wilayah Indonesia, tepatnya di Kalimantan Barat.
Insiden ini menimbulkan kekhawatiran terkait keselamatan, kerusakan lingkungan, dan kedaulatan wilayah udara Indonesia. Kasus ini menjadi sorotan penting dalam konteks tanggung jawab hukum negara peluncur atas sampah antariksa menurut hukum internasional, khususnya Outer Space Treaty 1967 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan China.
Outer Space Treaty 1967 mengatur bahwa setiap negara yang meluncurkan objek antariksa bertanggung jawab atas aktivitasnya, termasuk kerusakan yang mungkin ditimbulkan. Pasal VI dan VII perjanjian ini menegaskan tanggung jawab negara atas kegiatan nasional di luar angkasa dan kerusakan yang disebabkan oleh objek antariksa miliknya.
Ketentuan ini diperjelas dalam Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972 (Liability Convention), yang membedakan tanggung jawab mutlak untuk kerusakan di permukaan bumi dan tanggung jawab berdasarkan kesalahan untuk kerusakan di luar angkasa.
Dalam kasus Long March 5B, China sebagai negara peluncur memiliki tanggung jawab mutlak (absolute liability) atas kerusakan yang ditimbulkan oleh serpihan roketnya yang jatuh di wilayah Indonesia.
Artinya, Indonesia tidak perlu membuktikan adanya kelalaian China untuk menuntut kompensasi atas potensi kerusakan fisik, risiko keselamatan jiwa, dan dampak lingkungan yang mungkin terjadi.
Meski tidak ada korban jiwa yang dilaporkan, keberadaan serpihan besar di pemukiman penduduk jelas menimbulkan risiko signifikan yang harus direspons secara serius oleh China.
Namun, implementasi prinsip tanggung jawab ini dalam praktik menghadapi sejumlah kendala. Salah satunya adalah kesulitan menentukan nilai kompensasi yang adil, terutama jika kerusakan tidak bersifat material atau sulit diukur secara ekonomi.
Selain itu, pembuktian hubungan kausal antara serpihan roket dan kerusakan yang terjadi bisa menjadi rumit, apalagi jika terdapat jeda waktu antara kejadian dan temuan kerusakan. Kompleksitas ini diperparah oleh keterlibatan berbagai entitas non-pemerintah dalam kegiatan antariksa modern, yang menyulitkan penentuan negara peluncur yang bertanggung jawab.
Untuk menanggapi insiden ini, Indonesia dapat mengajukan klaim kompensasi kepada China melalui saluran diplomatik sesuai prosedur yang diatur dalam Liability Convention.
Klaim harus didukung dengan dokumentasi lengkap, seperti foto lokasi jatuhnya serpihan, laporan penilaian kerusakan, dan bukti lain yang relevan. Jika negosiasi diplomatik tidak berhasil dalam waktu satu tahun, mekanisme penyelesaian sengketa melalui Komisi Klaim dapat diaktifkan untuk menentukan kompensasi yang adil dan mengikat kedua pihak.
Strategi hukum dan diplomatik yang komprehensif sangat penting bagi Indonesia untuk melindungi kepentingan nasional dan menegakkan haknya di forum internasional.
Pemerintah perlu melakukan pengumpulan bukti secara menyeluruh dan membangun argumen hukum yang kuat berdasarkan ketentuan perjanjian internasional. Selain itu, diplomasi aktif diperlukan untuk mendorong China bertanggung jawab dan mengambil langkah pencegahan agar kejadian serupa tidak terulang.
Kasus Long March 5B ini juga menegaskan urgensi Indonesia dalam memperkuat regulasi nasional terkait pengelolaan sampah antariksa dan meningkatkan kapasitas pengawasan aktivitas luar angkasa di wilayahnya.
Dengan posisi strategis di garis khatulistiwa, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan teknologi antariksa, sehingga penting untuk memastikan bahwa eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa dilakukan dengan aman dan bertanggung jawab.
Secara keseluruhan, insiden jatuhnya sampah antariksa roket Long March 5B di Indonesia menjadi momentum penting untuk mengkaji dan memperkuat implementasi hukum internasional di bidang antariksa.
Melalui penegakan tanggung jawab negara peluncur dan kerja sama internasional yang erat, Indonesia dapat menjaga kedaulatan wilayahnya sekaligus berkontribusi pada tata kelola ruang angkasa yang damai dan berkelanjutan.(***)
Berkontribusi dalam tulisan ini: Halimah, Nina Pratama, Al-Zakiah Qamarona Bestari Ardiansyah, Marsya Chelsea Amara, Nurlita Apriani, Alyaa Naura Saatirah dengan bimbingan Dosen Pengampu Kandi Kirana Larasati, S.H., M.H.