“Dinasti Kekuasaan Demi Rakyat” : Neopatrimonialistik ala Prabowo

Menerima dan mengukuhkan Dinasti Kekuasaan atau Dinasti Politik sebagai bagian dari jalan atau konsep pengabdian pada rakyat adalah sebuah pembodohan, jika tidak ingin lebih tegas lagi menyebutnya sebagai muslihat jahat serta licik untuk melanggengkan kekuasaan.

Betapa kecewa dan sakit hatinya para Raja dan Sultan di bumi Nusantara ini, setelah mereka bersumpah setia, rela bergabung dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, meletakan warisan feodalistik kekuasaan kerajaan dan kesultanan mereka sebagai budaya, menerima Demokrasi Pancasila sebagai landasan hukum dan konstitusi, ternyata oleh para politisi hari ini dikhianati dengan mengambil Dinasti Politik kembali sebagai cara berkuasa, sekalipun atas nama “Demi Rakyat”.

Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan dan kesultanan, sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak, agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.

Apakah kerajaan Arab Saudi menjaga Dinasti Kekuasaannya demi rakyatnya ?, Tidak.
Dinasti kekuasaan Raja Salman dijaga agar anaknya Pangeran Muhammad bin Salman mewarisi kekuasaan kerajaan.

Jadi salah besar dan konyol dalam sebuah negara demokrasi, mau dibungkus atas nama rakyat atau tidak, kemudian mengambil konsep Dinasti Politik sebagai jalan menuju kekuasaan.
Perumpamaan hal tersebut ibarat membunuh anak karena tak ingin anak mengalami hidup miskin atas nama kasih dan sayang orang tua.

Konsep yang sedang diusung Prabowo akan Dinasti Politik demi rakyat di Indonesia ini, jika dibiarkan melenggang sesungguhnya merupakan gejala awal kebangkitan neopatrimonialistik.

Bacaan Lainnya

Sistem patrimonial ini tak mungkin bisa sejalan dengan sistem demokrasi, sebab patrimonial mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, sedangkan demokrasi idealnya mengutamakan sistem meritokrasi dalam mengukur bobot kualifikasi dan prestasi para pemimpin negara.

Dalam sistem patrimonial dulu, pewarisan ditunjuk langsung, sedang dengan neopatrimonial yang diperkenalkan oleh Prabowo sekarang adalah lewat jalur politik prosedural.

Anak-anak dan menantu Jokowi oleh para elite politik bukan lagi “di karbit”, tapi langsung di katrol naik ke jenjang kekuasaan melalui institusi yang disiapkan, yaitu Partai Politik.

Oleh karena itu, Dinasti Politik ala Prabowo ini sejatinya adalah patrimonialistik yang terselubung oleh jalur prosedural.

Jika hari ini konsep “tipu menipu” dan menyiasati sistem demokrasi diterima dan ditelan bulat-bulat tanpa perlawanan, maka esok apa yang pernah dijadikan landasan oleh Polpot sang diktator Kamboja yang terkenal bengis membantai jutaan rakyatnya itu bisa jadi berlaku juga di Indonesia.

Karena Polpot juga mengatakan “𝙎𝙖𝙮𝙖 𝙞𝙣𝙜𝙞𝙣 𝘼𝙣𝙙𝙖 𝙩𝙖𝙝𝙪 𝙗𝙖𝙝𝙬𝙖 𝙨𝙚𝙢𝙪𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙖𝙮𝙖 𝙡𝙖𝙠𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙣𝙚𝙜𝙖𝙧𝙖 𝙨𝙖𝙮𝙖”.

Jadi jelas bahwa Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika praktek ini diterima dan dibenarkan sebagai konsep proses politik, baik dalam Pilkada atau Pilpres, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan secara jujur dan adil, atau bahkan terhenti.

Dan akibat yang ditimbulkan jika Dinasti Kekuasaan menjadi konsep Neopatrimonialistik yang dilegalkan di sejumlah daerah, maka akan lahir raja-raja baru dari rahim politik patrimonial.

Sistem demokrasi akan luluh lantak, korupsi sumber daya alam dan lingkungan merebak tak terkendali, kebocoran sumber kekayaan daerah/negara serta penyelewengan dana APBD dan APBN semakin menggila, dan pada akhirnya, rakyat juga yang menjadi mangsa dari kerakusan serta ketamakan para begundal politik.

Ditulis: Nazlira Alhabsy