OPINI, JURNALTODAY.CO – Negara kembali membawa narasi kontroversial dan membuat gaduh kalangan pers dengan dibahasnya revisi Undang-Undang Penyiaran oleh DPR. Beberapa poin dalam revisi ini dianggap membatasi produk-produk jurnalisme di Indonesia, bahkan tumpang tindih dengan Dewan Pers.
Pasal-pasal yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi, salah satunya terdapat pada Pasal 50B ayat (2). Pasal ini melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi serta isi siaran dan konten yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender.
Pasal ini juga melarang penayangan isi siaran dan konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Pembatasan ini berpotensi menghambat kerja-kerja jurnalistik yang penting untuk mengungkap berbagai kasus di tanah air.
Larangan terhadap jurnalistik investigasi dinilai sangat merugikan, mengingat tanpa adanya berita investigasi, banyak kasus-kasus seperti pelecehan seksual, pembunuhan, dan kriminalitas lainnya yang tidak akan terungkap.
Jurnalistik investigasi memiliki peran krusial dalam mengawasi dan mengungkapkan fakta-fakta yang tersembunyi dari publik. Tanpa kebebasan untuk melakukan investigasi, transparansi dan akuntabilitas dalam masyarakat dapat terancam, dan pelanggaran-pelanggaran dapat tidak terdeteksi atau tidak ditindaklanjuti.
Selain itu, pembatasan terhadap konten yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender (LGBT) membatasi kebebasan berekspresi komunitas tersebut. Isu LGBT adalah isu hak asasi manusia yang seharusnya dilindungi, bukan dihakimi atau dibatasi.
Pembatasan seperti ini dapat memperkuat stigma dan diskriminasi terhadap komunitas LGBT, padahal mereka berhak atas representasi yang adil dan akurat dalam media. Perlindungan terhadap hak-hak komunitas LGBT adalah bagian dari upaya untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif dan menghormati keberagaman.
Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 menetapkan bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran dilakukan oleh KPI. Pembahasan revisi Undang-Undang Penyiaran ini mencerminkan upaya suatu kelompok untuk memperkuat kontrol mereka atas media.
Dewan Pers, sebagai lembaga media independen yang seharusnya menjadi wadah atas masuknya gugatan pers, malah dialihkan ke KPI, yang merupakan bagian dari pemerintah. Artinya, revisi undang-undang ini berpeluang memberi fleksibilitas kepada pemerintah untuk mengambil keuntungan dalam sengketa pers.
Menjaga kebebasan pers dan hak publik atas informasi adalah fundamental dalam sebuah demokrasi. Memang langkah ini dimaksudkan untuk menekan penyebaran berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Namun, efektivitasnya pun masih dipertanyakan. Masalahnya kebijakan tersebut mengancam kebebasan pers sebagai pilar keempat demokrasi.
Dalam masyarakat kapitalis, media bukan hanya sekadar penyedia informasi, tetapi juga alat bagi kelompok berkuasa untuk mempertahankan dominasi mereka. Jika revisi ini menguntungkan konglomerat media besar dan menyulitkan media independen, maka monopoli informasi akan semakin kuat.
Industri penyiaran dapat menjadi medan konflik antar kepentingan. Regulasi yang terlalu ketat bisa memberatkan jurnalis dalam menyampaikan berita yang kritis. Ini menguntungkan pemilik media yang ingin menjaga hubungan baik dengan pengiklan atau pemerintah, tetapi bisa merugikan kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang berimbang.
Revisi Undang-undang tersebut mengkhianati semangat perwujudan negara demokratis yang tercantum dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU ini memastikan kebebasan pers dari campur tangan pihak manapun, memberikan perlindungan hukum kepada wartawan, dan mengatur agar pers menyajikan informasi yang akurat dan berimbang.
Pasal 4 ayat (1) menyatakan, “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,” sementara Pasal 6 menyatakan bahwa pers nasional melaksanakan peranannya untuk memenuhi hak masyarakat dalam memperoleh informasi. Selain itu, UU ini membentuk Dewan Pers sebagai lembaga independen untuk mengembangkan kebebasan pers dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik dan mendistribusikan ideologi yang mendukung status quo. Dengan mengontrol media, kelompok dominan dapat memastikan bahwa narasi yang mendukung kepentingan mereka tetap dominan. Revisi ini mungkin mencakup ketentuan yang memperketat pengawasan dan sensor terhadap konten yang dianggap subversif, sehingga mempersempit ruang kritik.(*)