DPRD SAMARINDA, JURNALTODAY.CO – Penggusuran Pasar Subuh di Jalan Yos Sudarso, Samarinda, yang terjadi pada Jumat (9/5/2025), menuai reaksi keras dari Wakil Ketua DPRD Kota Samarinda, Ahmad Vananzda.
Dia menyesalkan ketidakhadiran perwakilan Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda saat proses penertiban berlangsung, padahal kehadiran mereka sangat dibutuhkan untuk mendengar langsung aspirasi masyarakat dan pedagang yang terdampak.
Politisi PDI Perjuangan itu menegaskan bahwa Pemkot seharusnya turun ke lapangan, bukan hanya mengeluarkan kebijakan tanpa dialog.
“Turun dong ke lapangan, dengerin langsung suara warga. Masyarakat butuh kepastian, bukan dibikin panik dengan penggusuran sepihak,” ujarnya dengan nada tegas.
Ahmad Vananzda menilai, tindakan sepihak seperti ini hanya akan menambah keresahan di tengah masyarakat.
Penertiban Pasar Subuh dilakukan dengan melibatkan ratusan aparat gabungan dari berbagai instansi, seperti Dinas PUPR, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pemadam Kebakaran.
Namun, proses ini justru menyisakan polemik karena tidak dihadiri oleh pejabat Pemkot yang seharusnya bertanggung jawab dalam memberikan penjelasan dan solusi kepada warga.
Dalam kesempatan yang sama, ungkapan keprihatinan juga diungkapkannya terhadap aparat yang harus berhadapan langsung dengan warga. Ahmad Vananzda menyebut, para petugas di lapangan hanya menjalankan tugas, namun menjadi sasaran kemarahan masyarakat yang merasa hak-haknya diabaikan.
“Kasihan mereka. Mereka hanya menjalankan tugas, tetapi menjadi sasaran amarah warga,” ucapnya.
Sebelumnya, para pedagang Pasar Subuh melalui Paguyuban Pasar Subuh (PPS) telah mengirimkan surat permohonan audiensi ke DPRD Samarinda dan Wali Kota Samarinda.
Mereka meminta agar ada dialog terbuka guna mencari solusi yang adil sebelum penggusuran dilakukan, namun permintaan tersebut tidak diindahkan dan penggusuran tetap berlangsung.
Ahmad Vananzha menambahkan, DPRD Kota Samarinda berencana menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk membahas permasalahan ini secara lebih mendalam. RDP tersebut diharapkan dapat mempertemukan semua pihak terkait, termasuk perwakilan pedagang, Pemkot, dan pemilik lahan, agar tercapai kesepakatan yang tidak merugikan salah satu pihak.
Sementara itu, perwakilan pemilik lahan mengklaim bahwa permintaan relokasi telah disampaikan kepada Pemkot sejak 2014, namun baru bisa direalisasikan setelah tersedia lokasi pengganti di Pasar Dayak pada 2022. Meskipun demikian, proses relokasi ini tetap menuai keberatan dari sebagian pedagang yang merasa belum mendapatkan kejelasan dan keadilan dalam penanganan.
Situasi di lapangan sempat memanas, bahkan terjadi ketegangan antara aparat dan warga. Sejumlah pedagang menolak relokasi karena merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan mengaku mengalami intimidasi dari pihak tertentu.
Kondisi ini mempertegas perlunya dialog terbuka dan transparansi dari semua pihak agar konflik serupa tidak terulang di masa mendatang. (yg/adv)