SANGATTA – Persoalan batas wilayah antara Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan Pemerintah Kabupaten Berau membuat pembangunan di sekitar perbatasan tersebut menjadi tersendat. Proses diskusi antar kedua belah pihak sudah berjalan dari tahun 2006 hingga tahun 2023, dan hingga hari ini belum juga mencapai titik kesepakatan.
“Kami telah berdiskusi sejak tahun 2006 hingga 2023. Saat ini, kami masih menunggu tindak lanjut dari Kemendagri,” tutur Trisno, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Kabupaten Kutai Timur.
Lebih lanjut menurut Trisno, proses di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah melalui mekanisme yang diatur dan sudah selesai tahun 2021. Tetapi sampai sekarang ini belum ada langkah tindak lanjut dari kementerian, sehingga permasalahannya belum juga kelar.
Mengenai buntunya diskusi di antara dua kabupaten, Trisno menyebutkan perbedaan bahan diskusi yang dibawa membuat diskusi tidak nyambung. Pemkab Kutim dalam setiap diskusi membawa kajian teknis, yuridis, dan historis yang mereka lakukan. Akan tetapi Pemkab Berau tidak membawa bahan sejenis, lebih memilih menggunakan dasar aturan Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Malinau, Kubar, Kutim, dan Kota Bontang.
“Setiap kali kami menyatakan bahwa Sungai Manubar adalah milik Kutim, mereka tidak memiliki kajian pembanding. Mereka hanya mengacu pada Undang-Undang 47, padahal UU tersebut hanya menggambarkan peta batas sementara,” ujar Trisno.
Berlarut dan buntunya diskusi membuat Pemkab lebih memilih menyerahkan urusan tersebut ke Kemendagri. Meski demikian, diharapkan prosesnya berjalan segera, sehingga pembangunan di wilayah yang terkait batas wilayah tersebut dapat segera dilaksanakan dengan lancar. Harapannya, masyarakat di sekitar sana dapat menikmati pembangunan seperti saudaranya di wilayah lain.