Hari Sawit Nasional, Bangun Kelapa Sawit Yang Berkelanjutan dan Berkerakyatan

Jamaluddin, Ketua Koperasi Perkebunan Belayan Sejahtera, Desa Muai, Kecamatan Kembang Janggut, Kutai Kartanegara.

OPINI, JURNALTODAY.CO – Hari Sawit Nasional bukan hanya sekadar hari peringatan, tetapi panggung refleksi bagi kita semua. Sebuah momen untuk merenung dan merangkai harapan akan masa depan yang lebih baik dalam mengelola aset alam yang berharga ini.

Seiring kita merayakan Hari Sawit Nasional, mari bersama-sama memandang lebih dalam ke dalam industri yang penuh tantangan ini. Saat kita merayakan prestasi dan memahami kompleksitasnya, mari telusuri peran krusial petani swadaya dalam menggerakkan roda rantai pasok kelapa sawit, baik di tingkat nasional maupun global.

Petani swadaya adalah pahlawan tak terduga dalam peta perjalanan kelapa sawit. Mereka tidak hanya menjadi penopang di tingkat nasional, tetapi juga memiliki dampak signifikan dalam ketahanan rantai pasok kelapa sawit di pasar global.

Dari 16,38 Juta ha luas kebun sawit nasional 42% atau seluas 6,94 Juta ha adalah lahan perkebunan rakyat, atau petani swadaya. Keberlanjutan dan kualitas hasil budi daya mereka tidak hanya memengaruhi ekonomi lokal, tetapi juga memberi kontribusi pada citra positif kelapa sawit di tingkat internasional.

Mari kita gunakan hari sawit nasional untuk merefleksikan perjalanan industri kelapa sawit di Indonesia dan pandangan bersama untuk menciptakan masa depan yang berkerakyatan dan berkelanjutan. Dalam wacana ini, mari kita merinci berbagai aspek yang memerlukan perhatian menyeluruh, meretas jalan menuju transformasi positif dan regenratif.

Petani Swadaya dan Jaminan Pasar

Bacaan Lainnya

Petani swadaya, tulang punggung industri kelapa sawit, mendapati diri mereka terpinggirkan dalam aspek kepastian pasar. Perbincangan mengenai kepastian pasar bagi petani swadaya dalam industri kelapa sawit, kita memasuki ranah yang memerlukan solusi komprehensif dan berkelanjutan.

Meskipun regulasi seperti Permentan Nomor 1 tahun 2018, permentan no 38 Tahun 2020 dan standar tata kelola yang disusun melalui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) telah menempatkan fondasi, namun masih terasa kurang dalam menegaskan kepastian rantai pasok bagi para petani swadaya.

Kita mendapati masih banyak petani swadaya yang terpaksa menjual TBSnya ke tengkulak lantaran tidak di beri akses oleh persuahaan untuk bermitra. Atau mayoritas kemitraan dengan petani swadaya adalah kemitraan yang bersifat komersil, atau sekedar perjanjian jual beli, bukan kemitraan sebagaimana di gambarkan pemerintah dan perusaan, seperti diberikan pembinaan dan pelatihan untuk meningkatkan sumber daya petani.

Bisa kita bayangkan, warga di ajak dan di minta menanam sawit, tetapi tidak diberikan kepastian pasar, perusahaan hanya akan membelinya jika perushaan perlu, jika tidak perlu silakan menjualnya ke tengkulak atau harga yang sangat rendah.

Dalam hal ini, kita membutuhkan sistem tata niaga yang berkerakyatan dan berkelanjutan. Tata niaga yang berkerakyatan maksudnya adalah minimal memegang teguh prinsip berkeadilan dan transparan.

Berkelanjutan maksudnya tidak sekedar meletakkan petani sebagai struktur paling bawah dalam rantai pasok, tetapi juga mendorong atau mengupayakan hilirisasi yang melibatkan para petani. Dengan demikian petani akan memiliki posisi tawar dalam rantai pasok kelapa sawit.

Kebun Sawit Petani Swadaya Dalam Kawasan Hutan.

Kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan menciptakan tantangan serius yang memerlukan perhatian mendalam. Ambisi pemenuhan kebutuhan pasar global memunculkan konsekuensi logis terhadap akses lahan bagi petani swadaya. Dalam konteks ini, diperlukan pendekatan bijak untuk memberikan akses legal yang berkelanjutan bagi petani swadaya yang berkebun di kawasan

Munculnya kebun-kebun petani swadaya di kawasan hutan di Indonesia bukan hanya masalah internal negara ini, melainkan juga masalah global. Oleh karena itu, mengakhirinya akan menjadi tanggung jawab kita bersama demi masa depan planet ini. Upaya mengatasi masalah ini memerlukan langkah-langkah proaktif.

Sebelum itu, penting bagi seluruh aktor dalam rantai pasok kelapa sawit, menghormati kondisi eksisting dan mengakui tantangan serta dampak yang sudah ada. Ini adalah langkah penting dalam mengambil tindakan selanjutnya.

Kita harus munculnya kebun-kebun petani swadaya di Indonesia adalah hasil dari berbagai faktor sejarah, ekonomi, dan sosial yang kompleks. Ini termasuk kebijakan pemerintah, tekanan ekonomi untuk menghasilkan minyak kelapa sawit, serta kebutuhan hidup petani swadaya.

Dalam mengatasi masalah ini, kita harus memahami bahwa banyak orang dan komunitas yang terlibat dalam industri kelapa sawit tidak memiliki alternatif nafkah yang memadai. Oleh karena itu, menciptakan solusi yang menghormati kondisi eksisting dan memberikan alternatif yang layak bagi mereka adalah kunci.

Selain itu, mengakui dosa bersama atau tanggung jawab bersama dalam masalah ini adalah langkah penting dalam membangun konsensus untuk tindakan yang berkelanjutan. Semua pihak, termasuk pemerintah, industri, dan masyarakat, perlu mengakui peran mereka dalam relaitas dimana banyak kebun-kebun petani di kawasan hutan yang telah terjadi. Hanya dengan mengakui dosa bersama ini kita dapat bekerja sama untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.

Dengan pendekatan yang berdasarkan penghargaan terhadap kondisi eksisting dan tanggung jawab bersama, kita dapat membangun fondasi yang kuat untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya menuju tata kelola hutan berkelanjutan di Indonesia. Ini akan melibatkan semua pihak dalam upaya bersama untuk melindungi hutan, keanekaragaman hayati, dan lingkungan alam secara keseluruhan.

Membangun Tata Niaga Kelapa Sawit yang Berkerakyatan dan Berkelanjutan, Menuju Keseimbangan yang Adil

Industri kelapa sawit, sebagai tulang punggung ekonomi banyak petani swadaya, mendapati tantangan yang perlu diselesaikan untuk membangun tata niaga yang berkerakyatan dan berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini, sejumlah strategi dapat diimplementasikan.

Koperasi sebagai Pusat Keseimbangan: Membangun dan memperkuat koperasi petani swadaya menjadi kunci utama. Koperasi bukan hanya wadah untuk menyatukan kepentingan petani, tetapi juga menjadi platform untuk meningkatkan kekuatan tawar-menawar. Hal ini memastikan distribusi keuntungan yang lebih merata dan membangun landasan ekonomi yang lebih solid.

Transparansi untuk Keberlanjutan: Menjalankan praktik bisnis yang transparan dari hulu hingga hilir menjadi langkah berikutnya. Transparansi adalah fondasi untuk membangun kepercayaan dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, kesepakatan yang mencerminkan keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat dicapai.

Pemberdayaan dan Diversifikasi: Pemberdayaan petani swadaya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan menjadi esensial. Mereka perlu dibekali dengan pengetahuan tentang praktik tata kelola kebun yang ramah lingkungan. Selain itu, diversifikasi sumber penghasilan perlu ditekankan, terutama bagi masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit yang hanya memiliki hutan sebagai sumber daya.

Implementasi Praktik Berkelanjutan: Sosialisasi dan implementasi praktik tata kelola kebun yang ramah lingkungan dan regeneratif menjadi langkah konkret. Standar keberlanjutan harus ditegakkan dalam seluruh rantai pasok, mengakomodasi aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Kolaborasi Lintas Pihak: Kolaborasi yang erat antara pemerintah, industri, lembaga lingkungan, dan masyarakat lokal adalah kunci keberhasilan. Melalui forum dialog dan kerjasama yang berkesinambungan, kebijakan bersama yang mendukung tata niaga berkelanjutan dapat dirumuskan.

Dengan merangkai strategi-strategi ini, kita tidak hanya menciptakan tata niaga kelapa sawit yang lebih adil dan berkelanjutan, tetapi juga mendorong pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan dalam satu langkah maju yang komprehensif.(*)