Ya tiba waktunya liburan semester kuliah tiba, mahasiswa/i rantau tak sabar pulang ke kampung halamannya masing-masing, melepas rasa rindu dengan sanak keluarga terutama kedua orang tua. Begitupula dengan diriku sebagai seorang mahasiswa rantau, menunggu tiba liburan semester adalah hal yang di nanti-nanti. Kebetulan waktu itu aku juga dipercayakan oleh dosen untuk menjalankan program dari kampus untuk disosialisasikan di daerahku, ya semacam sosialisasi tentang bahaya sampah plastik.
Singkat cerita saat sudah berada di kampung, aku mulai mendatangi rumah-rumah masyarakat dari satu pintu ke pintu lainnya, untuk melakukan sosialisasi. Tak terasa waktu 2 jam terlewati, terasa sudah mulai lelah sudah barang tentu, namun sosialiasi harus tetap dilanjutkan, aku rasa ini lah rumah terakhir yang kudatangi.
Permisi dan izin terhadap orang yang punya rumah, adalah suatu keharusan yang harus dilakukan, setelah itu barulah bisa masuk, syukurlah kalau diterima dengan baik. Tak perlu menunggu waktu yang lama, aku pun memulai berbincang-bincang mengenai program yang kubawakan ini, kepada mpunya rumah. Setelah setengah jam berlalu, tiba-tiba ada seorang pria yang langsung masuk ke dalam rumah, ikut menimbrung pembicaraan kami, ternyata itu adalah anaknya yang punya rumah. Kira-kira umur pria itu 40 atau 50 tahunan, tak terlalu tua juga, lalu dia menanyakan apa yang saya bawakan di rumah ini, pun saya menjawab ini pak saya membawakan program dari kampus saya, mengenai penyadaran masyarakat terhadap bahayanya sampah plastik. Ohhh kata dia, bagus sekali program ini !!! Sangat jarang katanya pemerintah daerah ini melakukan sosialisasi semacam itu, baguslah kalian mahasiswa punya inisiatif untuk melakukan program lalu mensosialisasikan kepada masyarakat desa, jarang masyarakat desa punya pengetahuan terhadap pengelolaan sampah plastik yang baik dan benar, tambahnya. Aku pun membalas perkataannya dengan ucapan terima kasih, tersambung hal itu iapun lantas menyambar dengan bercerita mengenai kondisi perpolitikan dan pemerintahan di daerah ini.
Katanya daerah ini tak akan pernah maju jika dipimpin oleh orang-orang macam itu, mereka itu semua brengsek dan pencuri !!! Tak akan pernah paham mereka mengenai kondisi daerah ini, karena yang mereka pikirkan hanya memperkaya diri sendiri bukan memikirkan masyarakat kecil. Aku pun tercengang mendengar kata-kata itu, dengan nada sopan aku bertanya kepada bapak itu kenapa bisa berbicara seperti itu pak ? Lantas iapun menjawab, sebelum menjawab ibuku memanggilku heh !!! Jangan panggil dia pak, dia itu juga kakekmu. Hahaha bapak itu tertawa dihadapanku, dia berkata panggil saja senyamanmu dek kepadaku, iya kek jawab saya begitu, karena takut dimarahi ibu. Lantas menjawab pertanyaan sebelumnya, ia mengatakan kakek ini juga dulu bermain di dunia politik jadi kakek tau tabiat-tabiat mereka yang sekarang mengurus daerah ini. Kakek tak asal bicara sambungnya, mereka itu orang yang tak paham politik apalagi memimpin, jadilah kemunduran pada daerah ini.
Coba saja kamu lihat jalan-jalan yang belum tersambung sampai sekarang dan juga coba kamu lihat jembatan-jembatan yang mangkrak sampai saat ini. Itu semua bukti mereka tidak becus bekerja, kakek tidak terjun di dalam dunia politik lagi karena di depak oleh mereka semua itu, kakek suka mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang salah, makanya mereka tak suka sama kakek. Apalah artinya kalau kekuasaan tak suka di kritik, apabila kritik tak mau didengar maka kemunduran pasti terjadi, lalu bagaimana dengan suara-suara dari masyarakat kecil ? Tentulah pasti pemimpin itu tak mau mendengarnya juga. Dari pada kakek pusing mengurus politik, lebih baik kakek mengurus sarang walet kakek saja, tak sudi jika kakek makan duit haram seperti mereka. Biarlah perut-perut mereka buncit dengan hasil uang haram, walaupun hasil walet kakek sedikit ya setidaknya ada untuk menyambung hidup dari hari ke hari.
Wah ternyata jarum di jam dinding, sudah menunjukkan pukul 4 sore lebih, tak terasa bincang-bincang yang memilukan itu menghabiskan waktu siang sampai sore hari. Tentu saja aku dan ibuku harus berpamitan pulang, karena ada pekerjaan yang harus dikerjakan lagi di rumah yaitu mengisi perut, kami pun bergegas menuju motor, untuk kembali pulang.
Saat sekembalinya di rumah, aku tak langsung masuk rumah, aku ingin merenung dulu sebentar di depan teras rumah. Sambil mengorek kantong celana, aku mengambil rokok dan korek lalu kubakar, sedari itu aku hanyut dalam renunganku, teringat masih perkataan dari kakek itu tadi. Brengsek dan pencuri masih jelas melekat dalam pikiranku, dua kata yang tak bisa dilupa hingga hari ini, apakah politik sekotor itu ? Apakah demikian politik laksananya tempat berkumpulnya para pencuri atau orang-orang brengsek ? Siapakah yang bisa menjawab ke dua hal itu ? Aku pun tak tahu siapa yang akan pantas menjawabnya.
Namun satu hal jika pernah membaca kumpulan catatan mendiang dari Soe Hok Gie, seorang mahasiswa dan aktivis yang hidup pada saat Orde Lama berkuasa, menjadi suatu pertokohan yang kerap diguguh oleh mahasiswa lainnya pada masa sekarang, karena keberaniannya menentang dan mengkritik pemerintah pada waktu itu. Seorang Soe Hok Gie mengibaratkan politik adalah kubangan lumpur yang paling kotor, namun kalau saatnya tiba maka terjunlah ke kubangan kotor itu. Hendaklah pengibaratan itu dibaca dengan penuh makna mendalam dan tak asal menafsirkan. Orang-orang yang memang benar-benar betul terpilihlah, yang pantas terjun ke dalam kubangan kotor dunia politik. Jujur, orang yang bersih hatinya, bersih pikirannya untuk tidak memperkaya diri sendiri, dan orang yang memang punya kualitas serta kuantitas lah yang pantas memang terjun. Jika sadar diri akan tidak memiliki kesemua itu, maka jangan coba-coba sekali-kali terjun, yang akan membuat semakin tercemar dunia politik itu. Mendapatkan seorang pemimpin dari dunia politik yang hanya ikut mencemari, adalah suatu petaka hebat.