Samarinda – Rencana pembangunan Sekolah Rakyat (SR) di Kota Samarinda mendapat sorotan tajam dari Anggota Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Anhar. Legislator dari Fraksi PDI-Perjuangan ini menilai program tersebut kontradiktif dengan upaya pemerataan pendidikan dan justru berpotensi memperkuat stigma kemiskinan ekstrem di daerah penerimanya.
“Ini bukan kebanggaan, tapi seolah jadi cermin bahwa kita belum bebas dari kemiskinan. Paradigmanya, murid yang dicari justru dari kalangan yang benar-benar tidak mampu secara finansial,” tegas Anhar saat ditemui (13/6/2025).
Ia mempertanyakan indikator yang digunakan pemerintah pusat dalam menetapkan lokasi pembangunan SR. Menurutnya, keputusan tersebut memberikan kesan bahwa pendidikan berkualitas hanya bisa diakses melalui jalur bantuan khusus, alih-alih menjadi hak semua warga.
Lebih jauh, Anhar membandingkan program Sekolah Rakyat dengan program “GratisPol” milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur yang menurutnya lebih inklusif dan efisien. GratisPol menawarkan pendidikan gratis tanpa membedakan latar belakang ekonomi siswa, dan bantuan pendidikan langsung disalurkan kepada peserta didik.
“Daripada membangun sekolah rakyat dengan anggaran ratusan miliar, lebih baik dananya dialihkan menjadi beasiswa seperti GratisPol. Bantuan langsung ke murid, nyaris tanpa celah untuk diselewengkan,” ujarnya.
Ia pun mengingatkan potensi rawan korupsi dalam pembangunan fisik proyek SR. Dengan anggaran besar, kata Anhar, celah penyimpangan akan semakin terbuka lebar, berbeda dengan bantuan tunai langsung yang transparan dan akuntabel.
“Kalau bicara pembangunan gedung dan fasilitas, itu rawan penyimpangan. Tapi kalau bantuannya langsung, semisal Rp25 juta, ya harus segitu yang diterima murid,” tegasnya.
Anhar menegaskan bahwa kehadiran Sekolah Rakyat tak bisa dijadikan simbol kemajuan atau keberhasilan. Sebaliknya, ini menunjukkan masih adanya ketimpangan pendidikan yang perlu dibenahi secara menyeluruh, tanpa labelisasi sekolah khusus bagi masyarakat miskin.
“Kita harus punya sekolah berkualitas yang merata, bukan sekolah dengan embel-embel dan klasifikasi ekonomi,” pungkasnya.(Adv)