12 Tahun Rawat Tanaman, Petani Didesak Kosongkan Lahan

Pengumuman Pengosongan Lahan yang dipasang perusahaan di areal kebun sawit milik Stepanus. (Foto: FPSB)

KUTAI KARTANEGARA, JURNALTODAY.CO – Seorang petani sawit swadaya di Desa Long Beleh Modang, Kecamatan Kembang Janggut, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dikejutkan oleh surat dari PT Rencana Mulia Baratama (RMB), perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di wilayah tersebut.

Dalam surat bertanggal 19 Juni 2025 itu, perusahaan meminta petani bernama Stepanus untuk mengosongkan lahan seluas ±5,26 hektar dalam waktu 3 hari sejak surat dikeluarkan.

Dalam surat bernomor 055/RMB-KTT/VI/2025 yang ditandatangani Kepala Teknik Tambang PT RMB, Risma Sido, perusahaan berdalih bahwa lahan tersebut berada dalam kawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.130/Menhut-II/2013.

Perusahaan juga mengklaim akan segera melakukan land clearing di wilayah tersebut.
Tak hanya melalui surat, spanduk besar bertuliskan “Pengumuman Pengosongan Lahan” juga dipasang perusahaan di areal kebun sawit milik Stepanus.

Spanduk itu mengingatkan masyarakat bahwa membuka dan berkebun di kawasan tanpa izin dapat dikenakan pidana berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Menanggapi tudingan perusahaan, Stepanus menyatakan bahwa ia telah mengelola lahan itu sejak tahun 2004 untuk menanam padi, dan mulai menanam kelapa sawit pada tahun 2013. Kebun itu telah menjadi sumber utama kehidupan bagi keluarganya selama lebih dari satu dekade.

Bacaan Lainnya

“Saya tidak pernah tahu bahwa lahan yang saya garap ini masuk kawasan hutan atau IUP perusahaan. Sejak awal saya bersihkan sendiri, tanami sendiri, rawat sendiri. Sekarang tiba-tiba disuruh angkat kaki hanya lewat surat dan spanduk,”beber Stepanus kecewa.

Forum Petani Sawit Belayan: Ada Dugaan Pelanggaran HAM

Terkait polemik yang tengah dihadapi Stepanus, Ketua Forum Petani Sawit Belayan (FPSB), Jamaluddin angkat bicara. FPBS menyayangkan tindakan sepihak yang dilakukan oleh PT RMB.

Jamaluddin menilai bahwa proses pengosongan lahan tanpa musyawarah, terlebih desakan dengan hanya memberikan waktu tiga hari, merupakan bentuk intimidasi terhadap warga yang telah lama menggantungkan hidupnya dari tanah tersebut.

“Ini bukan sekadar soal legalitas administratif, tapi ini menyangkut hak atas penghidupan, hak atas tanah, dan hak untuk didengar. Surat dan spanduk itu menunjukkan bahwa perusahaan tidak mengindahkan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia,” terangnya.

Lebih lanjut, Jamaluddin menyampaikan bahwa Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP) menjamin petani atas hak tanah, akses terhadap sumber daya, dan perlindungan dari penggusuran paksa.

Untuk itu, menurutnya perusahaan harus tunduk pada Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (UNGPs), yang mengharuskan perusahaan bertindak dengan kehati-hatian dan menghormati HAM, meskipun mereka memegang izin formal dari negara.

“Stepanus bukan penggarap liar. Ia punya sejarah, identitas, dan rekam jejak kelola. Negara dan perusahaan wajib hadir untuk menyelesaikan ini secara adil dan manusiawi, bukan sekadar dengan pendekatan hukum kehutanan sepihak,” tegas Jamaluddin.

Dialog dan Mediasi

Forum Petani Sawit Belayan (FPSB) mendesak agar Pemerintah Daerah, terutama Dinas Kehutanan dan Bupati Kutai Kartanegara, turun tangan untuk memediasi kasus ini.

Dialog antara petani dan perusahaan harus difasilitasi agar ada penyelesaian yang menghormati hak petani sekaligus memperjelas status tata ruang dan kawasan.

Kasus ini membuka kembali pertanyaan besar: Bagaimana nasib ribuan petani swadaya di Kalimantan Timur yang selama ini berkebun di lahan yang belum tersertifikasi legal, namun menjadi sumber penghidupan mereka selama puluhan tahun?(*)