Patahnya Sayap Keadilan Di Meja Mahkamah Konstitusi

Raihan Anandana, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM-FH) Universitas Balikpapan.

BALIKPAPAN, JURNALTODAY.CO – Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM-FH) Universitas Balikpapan mengecam keputusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemolihan umum 2024.

Staff Departemen Kajian Strategi & Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Balikpapan Raihan Anandana mengatakan bahwa peristiwa ini merupakan kecacatan hukum yang kemudian melahirkan kerugian konstitusional bagi masyarakat dan demokrasi negeri ini.

“Tentu saya rasa kita semua memahami bahwa telah terjadi intervensi dalam tubuh Lembaga yudikatif yang kemudian mencoreng titah demokrasi bangsa” jelas Raihan, Rabu (25/10/2023).

Selain itu dia menekankan bahwa tindakan mahkamah konstitusi merupakan suatu perselingkuhan kepentingan yang menimbulkan conflict of interest pada mahkamah kehakiman dimana kondisi tersebut bertentangan dengan asas hukum nemu judex in casua sua.

Hal ini jelas terlihat dalam hubungan kekeluargaan antara hakim penguji dengan subjek penguji, yaitu Prof. Dr. H. Anwar Usman, S.H., M.H. selaku hakim penguji dengan Gibran Rakabuming Raka selaku subjek penguji, hal ini dapat dilihat dalam berkas pengajuan yang diajukan dalam Mahkamah Konstitusi.

“Peristiwa hari ini kami meyakini bahwa telah terjadi adanya conflict of interest pada tubuh mahkamah konstitasi, maka majelis kehormatan mahkamah konstitusi kemudian harus segera mengambil Tindakan tegas atas kondisi yang terjadi,” ujar Raihan.

Bacaan Lainnya

Selanjutnya, ia menganggap Ketok Palu Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 pada Kamis, 16 oktober 2023 telah mengindikasikan tukar gulung kepentingan yang mengisyaratkan Karpet Merah untuk Gibran Rakabuming Raka.

Jelasnya, berpotensi besar melahirkan ruang bagi dinasti politik dengan patrimonialistik dengan melanjutkan kepentingan-kepentingan penguasa sebelumnya.

Kemudian Raihan memperjelas bahwa terdapat banyak kejanggalan dalam perjalanan hukum yang terjadi pada putusan MK mengenai ambang batas tersebut. Raihan melihat dissenting opinion oleh antara empat hakim menolak, tiga hakim menerima bersyarat, dan dua hakim menerima memperjelas dorongan kepentingan dalam tubuh mahkamah konstitusi.

Raihan berpandangan bahwa legal reasoning atau pertimbangan hukum yang kemudian menjadi pegangan hakim tidak menggambarkan kepastian hukum, terlebih pada hitungan matematis seharusnya sudah menjadi hal yang konkrit terkait pandangan empat hakim yang menolak sehingga sudah seharusnya gugatan tersebut ditolak.

“Sepatutnya apa yang kita pahami bersama mengenai sistem pembagian kekuasaan trias politica, bahwa kesewenangan koridor yang dilakukan mahkamah konstitusi kemudian membenturkan ruang gerak antara Lembaga legislatif dengan yudikatif,” lanjutnya.

Raihan kembali meyakinkan mengacu pada prinsip trias politika dengan pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif seharusnya mahkamah konstitusi mampu menciptakan kepastian, keadilan, dan kebermanfaatan hukum.

Menurutnya Mahkamah Konstitusi hari ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan kebermanfaatan hukum sehingga tujuan sebenarnya daripada hukum itu sendiri telah patah oleh kepentingan politik.

“Melihat kondisi belakangan ini, MK sepatutnya mampu merefleksikan dan mengambil sikap tegas serta menuntut pertanggungjawaban atas gagalnya menjawab tuntutan reformasi kepada hakim-hakim yang bersangkutan, karna saya kira perlu kita tegaskan kembali bahwa Indonesia adalah negara berpayung atas hukum, bukan atas kekuasaan,” pungkasnya.(*)