Jurnaltoday.co – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia(TPDI)Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), Meridian Dewanta, SH selaku Kuasa Hukum dari Sius Djobo meminta Kepastian Hukum Polda NTT terkait pengrusakan Mangrove oleh Bupati Alor.
“Kami patut menjalankan hak hukum kami untuk meminta kepastian hukum kepada Polda NTT terkait dugaan pengrusakan mangrove yang dilakukan oleh Bupati Alor, Amon Djobo di pesisir pantai Aikoli atau Welay, Kecamatan Teluk Mutiara,Kabupaten Alor, ” Ungkap Meridian dalam pers rilis yang diterima awak media ini melalui pesan whatsap, Rabu (12/4/2023).
Menurut Meridian, dugaan pengrusakan mangrove yang dilakukan oleh Bupati Alor Amon Djobo itu telah dilaporkan di Polda NTT oleh Kliennya Sius Djobo pada tanggal 6 Desember 2022, dan pihak Polda NTT sudah melakukan panggilan klarifikasi kepada beberapa pihak terkait, namun sampai hari ini Klien Sius Djobo belum juga mendapatkan informasi atau pemberitahuan secara resmi dari Polda NTT tentang perkembangan maupun tindak lanjut atas kasus tersebut.
Demi menjamin akuntabilitas dan transparansi penyelidikan/penyidikan, maka ia meminta agar pihak Polda NTT segera memberitahukan kepada Kliennya Sius Djobo tentang sejauh manakah perkembangan perkara dugaan pengrusakan mangrove yang dilakukan oleh Bupati Alor Amon Djobo, bagaimana tindakan penyelidikan yang telah dilaksanakan dan hasilnya, apa kendala yang dihadapi dalam penyelidikan dan apa rencana tindakan selanjutnya.
“Klien kami Sius Djobo telah menyatakan memiliki bukti yang kuat menyangkut dugaan pengrusakan mangrove yang dilakukan oleh Bupati Alor, Amon Djobo di pesisir pantai Aikoli atau Welay, Kecamatan Teluk Mutiara, Kabupaten Alor, sebab areal itu merupakan kawasan konservasi yang tidak boleh dimiliki perorangan, sehingga walaupun mangrove yang dirusak tersebut berada di tanah milik Bupati Alor Amon Djobo, namun lokasinya merupakan hutan mangrove yang harus dilindungi kelestariannya, “Tegas Meridian.
Harapannya agar Polda NTT tidak ragu-ragu menerapkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, yang pada Pasal 35 huruf (f) dan (g) menyatakan : “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang :
(f). melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-pulau kecil;
(g). menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain“.
Dikatakannya ,jika larangan tersebut dilanggar, maka sanksi berat menanti bagi para pelaku, yaitu sesuai Bab 17 tentang Ketentuan Pidana Pasal 73 ayat (1) huruf (b) : “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap orang yang dengan sengaja : (b). menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, huruf f, dan huruf g. (*)