Lelaki kecil dan kurus itu menyeberangi jalan raya. Tangan kanannya menenteng sebuah cerek. Ia mengikuti lelaki tua yang berjalan membawa sebuah panci besar di depannya. Keduanya berangkat dari rumah panggung yang sudah tua menuju masjid yang terletak di seberang jalan raya.
Lelaki kecil itu adalah Mahmuddin, sering dipanggil Mudding, putra seorang “doja” (baca: marbot) di masjid Nurul Ittihad Ponre, ibukota kecamatan Gantarang (dulu namanya Gantarang kindang, disingkat Gangking) Kabupaten Bulukumba.
Dan lelaki tua, dengan wajah yang selalu runduk ketika berjalan itu adalah Beddu, nama lengkapnya; Beddu Pange, ayah Mahmuddin.
Kedua ayah dan anak ini sedang menuju masjid untuk merebus sarabba (baca: minuman khas Bugis-Makassar yang terbuat dari jahe, gula merah dan bumbu merica). Minuman itu adalah persiapan untuk berbuka puasa bagi jamaah di masjid.
Beddu dan Mudding, memang selalu bersama membersihkan masjid, membunyikan soundsystem dan melayani buka puasa ketika tiba bulan suci Ramadan.
Itu terjadi puluhan tahun yang lalu. Saya masih di bangku SMP dan Mudding berusia kanak-kanak yang duduk di bangku Sekolah Dasar.
Mudding, lelaki kurus itu, sudah melakukan evolusi diri. Kemarin, ketika tampil di atas mimbar, ia bukan lagi seorang “Mudding” yang pernah setiap hari menenteng cerek melintasi jalan raya. Ia bukan lagi lelaki kecil, kurus dan tak punya waktu main bersama anak-anak lainnya di sekitar masjid.
Lelaki di atas mimbar itu, dialah Prof. Dr. H. Mahmuddin, M. Ag. Seorang Guru Besar bidang Manajemen Dakwah UIN-Alauddin Makassar yang lahir pada tahun 1962 di satu kampung bernama Ponre, tidak jauh dari ibukota Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Sebagai ahli di bidang Manajemen Dakwah, kehadirannya menjadi khotib Idulfitri di mimbar masjid Islamic Center Dato Tiro, 2 Mei 2022, menyisakan pertanyaan di hati banyak orang. Pasalnya, jamaah yang pernah menjadi teman seumur dengan dia di tahun 70-an merasa tidak yakin kalau khotib di atas mimbar itu adalah Mudding; Lelaki pendiam, putra seorang “doja” yang menghabiskan separuh masa kecilnya merebus “sarabba” untuk buka puasa di masjid. Namun pertanyaan tersebut pada akhirnya terjawab juga. Khotbah yang disampaikan seakan berbicara tentang masa silam kehidupannya.
Kejelian memilih tema khotbah, mencerminkan kedalaman ilmu sang khotib di bidang manajemen dakwah dan komunikasi. Dia berhasil menemukan satu sisi problema sosial yang selama ini jarang, bahkan tidak pernah disinggung oleh para mubalig di atas mimbar. Topik “Menggapai Mutiara dari Buah Birrul Walidain” berbicara tentang betapa pentingnya kehidupan masa lalu yang dipenuhi pengabdian kepada kedua orang tua. Tema ini memang sudah umum. Namun, satu sisi yang penting digarisbawahi adalah bagaimana menghargai jasa perjuangan seorang ayah.
“Sesungguhnya diantara kewajiban yang ditekankan secara serius oleh agama adalah berbakti kepada ayah”, kata Khotib di atas mimbar. Kemudian dia lanjutkan:
“Sebagian orang hanya fokus untuk berbakti kepada ibunya. Namun masalahnya, mereka lupa berbakti kepada ayahnya. Padahal Nabi Sawbersabda: “Engka dan semua hartamu adalah milik ayahmu”, seru Prof. Mahmuddin dengan mengutip hadis riwayat Ibnu Majah
Khotib juga menjelaskan bahwa dewasa ini, kita sering disodori berita-berita menyedihkan lewat media massa. Antara lain, katanya :
“Seorang anak bertengkar dengan bapaknya karena persoalan harta Bahkan, sampai menikam dan membunuh ayahnya. Berpengadilan, sampai pada memenjarakan ayahnya; semua dipicu persoalan harta.”
Tema langka tentang jasa seorang ayah membesarkan anaknya ini diulas dengan baik, tenang dan sesuai tuntutan retorika sebuah khotbah. Dia memilih gaya dakwah “ud’u ila sabili rabbika bilhikmah”, mengajak dan menitipkan renungan-renungan penting yang memaksa hati jamaah teracak-acak. Jamaah yang mendengarnya, hampir semua menangis; kecuali mereka yang, mungkin berhati batu.
Saya, sebagai salah seorang jamaah, sekaligus Ketua Islamic Center Dato’ Tiro Bulukumba yang mengundang khotib tersebut, merasa tersadar akan peran besar seorang ayah dalam kehidupan rumah tangga. Tidak terasa, air mata saya pun mengucur. Bukan hanya mengingat ayah saya, K.H.Andi Syarifuddin Petta Tanra, yang meninggal dunia di saat memimpin salat idulfitri di lapangan sepak bola Ponre, tahun 2000 lalu. Akan tetapi, lebih dari itu. Saya teringat pada sosok perjuangan seorang “doja” bernama Beddu. Dia sahabat ayah saya: sahabat sejati antara ketua masjid dengan marbotnya. Dialah yang membesarkan Mahmuddin dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dialah yang mendekatkan anaknya ke rumah Allah. Dan pada akhirnya, Beddu pun mengantarkan Mudding menjadi guru besar dengan titel besar: Profesor Doktor Haji Mahmuddin Magister Agama.
Inilah yang utama menggugurkan air mata saya. Wajah ayah saya terbayang ketika dia bercerita tentang “doja” yang bernama Beddu.
“Tadi, ketika saya duduk di ruang tamu belakang, saya melihat Beddu berdiri di luar. Dia berpenampilan rapi: memakai jas hitam, songkok dan sarung, layaknya baru kembali dari salat lebaran. Dia tidak berkata apa-apa, lalu menghilang dari pandangan. Tapi ada perasaan, seakan dia memohon pamit ke saya.
Beberapa menit kemudian, seseorang datang ke rumah. Dia membawa kabar, bahwa Beddu telah meninggal dunia,” demikian cerita ayah saya.
Semoga almarhum ayah saya dan ayah Prof. Mahmuddin mendapat tempat yang terbaik di sisi Allah Swt. Aamiin.
Penulis: Mahrus Andis