JURNALTODAY.CO, SAMARINDA – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Kota Samarinda menilai usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto, sebagai bentuk keteledoran bangsa dalam memahami sejarahnya sendiri.
Bendahara DPC GPM Samarinda, Ricard Parera, menegaskan bahwa wacana pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional sama saja dengan mengabaikan luka sejarah yang dialami bangsa Indonesia selama masa pemerintahan Orde Baru.
“Pengusulan nama Soeharto sebagai pahlawan nasional menunjukkan bahwa bangsa ini belum belajar dari sejarahnya sendiri,” ujar Ricard.
Menurutnya, gelar pahlawan nasional merupakan simbol penghormatan tertinggi yang hanya layak diberikan kepada sosok yang berjuang demi rakyat dan kemanusiaan, bukan kepada mereka yang meninggalkan catatan kelam dalam perjalanan bangsa.
Ricard mengingatkan bahwa masa Orde Baru diwarnai dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang hingga kini masih meninggalkan luka mendalam, seperti Tragedi 1965–1966, Peristiwa Tanjung Priok, Tragedi Talangsari, Kudatuli 27 Juli, Penembakan Misterius (Petrus), Malapetaka 15 Januari (Malari), dan Tragedi Trisakti.
“Pahlawan adalah simbol perjuangan rakyat. Sementara di masa Orde Baru, ribuan bahkan jutaan nyawa melayang. Fakta sejarah ini tidak boleh dihapus begitu saja. Bagaimana mungkin pelaku pelanggaran HAM berat dijadikan pahlawan nasional?” tegasnya.
Lebih lanjut, Ricard menilai bahwa pemberian gelar pahlawan kepada tokoh dengan rekam jejak pelanggaran HAM berat merupakan bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
“Jika bangsa ini sampai menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, itu berarti bangsa ini sedang membenarkan penindasan. Bangsa yang besar bukan bangsa yang melupakan masa lalunya, melainkan bangsa yang berani mengakui kesalahannya,” pungkasnya.(*)
